Thursday, September 20, 2012

Saat Hidup Tak Semanis Gulali, Tersenyumlah..



Kemarin siang saya dapat tugas liputan ke Kementerian Perdagangan di daerah Gambir. Di undangan tertulis acara dimulai jam 11.30, tapi diawali dengan makan siang. Saya perkirakan inti acara baru mulai sekitar jam 12.30.

Setelah menghitung estimasi waktu Bekasi-Jakarta naik commuter line itu sekitar 30 menit (kalo lancar), maka saya putuskan untuk berangkat dari rumah jam 11 tepat. Kebetulan pas sampai stasiun, keretanya sudah tersedia.

Biasanya kalau saya naik kereta di jam segitu, saya dapat tempat duduk. Mungkin karena tadi datangnya mepet pas kereta mau jalan, alhasil saya harus berdiri menyender. Untung nggak begitu penuh berjejal.
Perjalanan kereta super lancar. Berangkat jam 11.16, jam 11.45 sudah sampai di Stasiun Gondangdia. Saya memutuskan turun disini karena jarak ke tempat tujuan lebih dekat. Tinggal naik ojek, atau jalan kaki pun bisa.

Niatnya saya mau naik ojek. Itu lantaran Febrina, anak magang dikantor, sudah tiba di lokasi lebih dulu dan ‘memaksa’ saya sampai dengan segera. Ojek di sekitar Stasiun Gondangdia sangat banyak. Begitu turun tangga mereka dengan cepat menyerbu.

Risih dikerubuti tukang ojek, saya cuek aja jalan terus. Berlagak nggak butuh. Toh, di depan sana masih ada tukang ojek yang mangkal tanpa rebutan penumpang.

Benar kan kata saya. Di depan mata ada tukang ojek lagi ngadem. Langsung saja saya tawar, ‘Bang, ke Kemendag depan halte berapa?’. Belum juga sepakat, si abang ojek langsung menaiki motornya. Saya tegaskan lagi, ‘Berapa bang?’. Dengan pedenya dia jawab, ‘Rp 10 ribu aja’. Dalam hati, ‘gila tukang ojek jaman sekarang, deket banget gitu aja Rp 10 ribu???’.

Saya akhirnya menawar dengan tawaran yang menurut saya tinggi, ‘Rp 7 ribu deh, Bang!’. Bukannya ditanggapi dengan santai, si tukang ojek malah nyolot, ‘Duh, jauh saya muternya. Rp 7 ribu tapi situ nyebrang ya ?’. Emosi saya tersulut, saya balas, ‘Kalau nggak disebrangin ya harusnya Rp 5 ribu!’, dan seketika itu juga saya ngeloyor pergi. Saya putuskan jalan kaki saja.

Saya SMS Febrina untuk sedikit bersabar karena sebentar lagi saya sampai. Dia balas, ‘Ok Mbak, SMS yah kalau sudah sampai!’. Ahh..lega deh dia nggak marah.

Akhirnya, saya menikmati jalan kaki di trotoar seberang gedung MNC Tower. Terasa sedikit bernostalgia juga karena jalanan ini pernah saya akrabi saat lebih dari dua tahun menimba ilmu di koran rajawali biru.
Sampai di ujung jalan, saya bertemu lelaki tua renta yang wajahnya cukup familiar dalam ingatan. Ya, mungkin sekitar satu tahun lalu saya menjumpainya untuk pertama kali. Kala itu saya bertemu dengannya di depan warung makan bawah rel, tempat tongkrongan reporter koran rajawali biru.

Saya coba flashback sedikit momen tersebut. Saya baru turun dari kereta dan jalan kaki menuju kantor. Saya jalan berdua kawan, namanya Cindy. Saat itu masih jam 12 siang.
Kami memutuskan makan siang dulu di warung ayam bakar. Sambil menunggu pesanan, saya celingak celinguk melihat sekitar. Entah kenapa, mata ini langsung tertuju pada lelaki yang berdiri di depan warung dengan dagangan yang ia pikul.

Dari luar sama sekali tak terlihat jenis dagangan apa yang ia jual. Peralatannya sederhana, hanya dua kaleng kerupuk berkarat. Saya menduga dia jualan es, atau rujak bebek.
Daripada penasaran, saya dekati dia. Saya tanya, ‘Kek, jualan apa ini?’. Dia tersenyum sambil mengeluarkan isi dagangan. Gulali. Saya biasa menyebutnya ‘rambut nenek’. ‘ Nona, ini makanan asli betawi. Udah jarang yang jual. Mari dicoba, ‘ katanya sambil memberikan saya setangkup gulali gratis.
‘Nona’? Dia panggil saya nona? Hehe..Baru kali ini saya dipanggil begitu. Oleh pedagang gulali pula. Kemudian saya tanya berapa harganya. Dia jawab ‘Terserah nona maunya berapa?’. Akhirnya, saya dan Cindy beli masing-masing Rp 5000. Lumayan buat cemilan bareng teman-teman.
Pada saat mau membayar, saya sengaja kasih Rp 20 ribu dengan maksud sisanya ambil saja buat ongkos pulang ke rumah. Saya iba dan ingin sedikit berbagi. Tapi, ternyata reaksi si kakek diluar dugaan. Dia menolak dengan keras, bahkan sampai ingin meminta kembali gulalinya.
Saya jadi tak enak hati. Sungguh tidak ada niat merendahkan, hanya ingin berbagi. Saya minta maaf dan coba menenangkan dia. Saya bilang, ‘ Kalau gitu tambahin lagi deh gulalinya jadi Rp 20 ribu, ‘. Kakek pun setuju.

Dia lantas bercerita panjang lebar tentang dagangannya. Tampak begitu bangga dengan apa yang ia hasilkan. Tak sungkan memberi tester gratis pada calon pembeli. Pokoknya puas aja kalau gulalinya dinikmati.
Saya ajak ngobrol seputar kesehariannya jualan gulali. Lagi, saya merasa iba. Setiap hari dia pulang pergi Jakarta-Bogor memikul dagangan naik KRL ekonomi. Berangkat jam lima pagi, pulang nggak tentu. Bisa jam 8 malam, jam 10 malam, ya asal kereta masih ada.

Sama sekali tak terdengar sepatah kata pun tentang keluhan yang biasa terlontar seperti saya berbincang dengan supir taksi, tukang ojek, atau pedagang siomay. Walau sudah tua, harus diakui semangatnya luar biasa. ‘Dibawa senang-senang saja nona, jangan lihat susahnya’, begitu katanya.
Waktu saya iseng tanya soal keluarga, dia mengaku tidak memiliki anak. Istrinya juga sudah meninggal. Praktis hidupnya kini tinggal seorang diri. Sekali lagi, itu bukan alasan untuk mengeluh. Apalagi, meratapi nasib. ‘Ntar juga saya meninggal, jadi ngapain dipikirin’, ujar dia enteng.
Itu obrolan pertama kali setahun lalu. Nah, sekarang Tuhan pertemukan saya kembali dengan si kakek. Tidak ada yang berubah kecuali tubuhnya yang kian renta.

Saya sapa, ‘Kek, baru keliatan lagi. Masih inget saya nggak?’. Dia hanya tertawa memperlihatkan deretan gigi yang sudah ompong. ‘Iya nona tapi lupa-lupa’. Oh ya, ada yang sedikit beda dari dagangan kakek. Sekarang gulalinya sudah disiapkan per plastik. Jadi, kalau ada yang mau beli tinggal ambil.
‘Ini se-plastiknya berapa?’ tanya saya. Dia jawab, ‘Rp 2000′. Hah?Rp 2000? Saya tahu harga gulali di pasaran memang tidak mahal. Tapi, dengan isi yang lumayan banyak begitu rasanya harga Rp 2000 terlalu murah.

Saya hitung, masih ada sekitar lima plastik yang dipajang. Sialnya, duit di kantong tinggal Rp 15 ribu. Hanya cukup buat ongkos pulang. Saya jadi nggak bisa beli semua. Cuma beli dua plastik. Duh, nyesel juga.
Saat mau bayar, kakek masih saja seperti dulu. Memberi saya setangkup gulali gratis untuk dicoba. ‘Ini nona coba dulu nanti menyesal lagi kalau rasanya nggak enak’. Saya bilang, nggak perlu dicoba kan udah tau rasanya. Enak kok. Dia tetap memaksa, katanya, takut rasanya berubah.

Dan, nggak cuma saya aja yang dikasih gratisan. Semua calon pembeli diperlakukan sama. Asal tahu, gulali buatan kakek memakai gula pasir asli tanpa pewarna. Jadi, flat cuma warna putih gelap khas gula pasir aja.
Saya nggak asal ngomong atau sedang berpromosi. Teman-teman juga keluarga saya mengakui itu. Beda banget deh sama yang dijual di tempat lain, yang pakai warna pink.

Untuk menyenangkan hati kakek, saya cicipi gulali itu. Dia tampak senang sekali gulalinya saya makan. ‘Masih enak kok, masih sama. Manisnya pas,’ kata saya jujur. Kakek tersenyum sumringah dan malah memberi saya setangkup lagi, gratis. ‘Ini ambil lagi buat dijalan’.

Seketika saya ingin menangis. Gulali yang ia jual harganya cuma Rp 2000 per plastik. Kalau laku semua, kira-kira cuma dapat Rp 30 ribuan. Tapi, dia masih bisa memberi gratis pada semua calon pembeli.  Hidup yang terlihat miris dari luar, ternyata dirasakan begitu manis. Sama seperti rasa gulali yang ia jual. Ya Tuhan.. sungguh saya terenyuh. ‘Berkah ya, Kek, rejekinya. Amin..’, doa saya dalam hati.

Saya lantas melanjutkan perjalanan ke tempat tujuan. Masih dengan perasaan yang ‘tertampar’. Saya seperti berdialog dengan diri sendiri. Malu tepatnya.

Kalau dibandingkan, gaji saya jauh lebih besar dari penghasilan kakek. Saya juga masih muda dan sehat. Cuma kok kebanyakan ngeluhnya. Hidup yang nggak sempurna-lah, kerjaan yang banyak banget-lah, yah macem-macem deh. Minim banget rasa syukur.

Tuhan seperti mau mengajari saya bagaimana caranya bersyukur. Sederhana. Cukup dengan senyum, wajah yang ceria, dan hati yang ikhlas memberi, tanpa embel-embel kepentingan atau rasa takut kehilangan rejeki.
Dua hal bodoh yang saya lakukan adalah lupa menanyakan siapa nama kakek dan mengambil gambarnya. Semoga Tuhan pertemukan saya kembali dengannya. Masih banyak yang ingin saya pelajari.

Teman-teman bisa coba buktikan sendiri cerita saya bila bertemu dengannya. Kakek penjual gulali itu dua kali saya temui di sekitar MNC Tower, kata seorang teman yang juga pernah melihat, kadang suka mangkal di Jalan Sabang.

Perawakannya kecil, renta, memakai topi kompeni, tanpa alas kaki, dan memikul dagangan gulali. Kalau saya ketemu dia lagi, saya janji akan sebutkan nama, juga menunjukkan fotonya. Sebut saja itu janji reporter galau. He-he-he..

Firda Puri Agustine
http://lifestyle.kompasiana.com/catatan/2012/09/20/saat-hidup-tak-semanis-gulali-tersenyumlah/

Saturday, September 15, 2012

AMANAH

Amânah berasal dari kata a-mu-na – ya‘munu – amn[an] wa amânat[an] yang artinya jujur atau dapat dipercaya. Secara bahasa, amânah (amanah) dapat diartikan sesuatu yang dipercayakan atau kepercayaan. Amanah juga berarti titipan (al-wadî‘ah).

Amanah adalah lawan dari khianat. Amnah terjadi di atas ketaatan, ibadah, al-wadî’ah (titipan), dan ats-tsiqah (kepercayaan).
Dengan demikian, sikap amanah dapat berlangsung dalam lapangan yang sangat luas. Oleh karena itu, sikap amanah merupakan sesuatu yang dipercayakan untuk dijaga, dilindungi, dan dilaksanakan.

Al-Quran menyatakan kata amanah dalam enam ayat. Allah Swt. berfirman:

Sesungguhnya Kami telah menyampaikan amanah kepada langit, bumi, dan gunung-gunung; semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya. Dipikullah amanah itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh. (QS al-Ahzâb [33]: 72).

Ada berbagai pendapat mengenai makna amanah dalam ayat ini. Al-Qurthubi menyatakan, amanah bersifat umum mencakup seluruh tugas-tugas keagamaan. Ini adalah pendapat jumhur.
Ibn ‘Abbas menuturkan bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda (yang artinya):

Allah berfirman kepada Adam, “Wahai Adam, Aku telah mengemukakan amanat kepada langit dan bumi, tetapi mereka tidak sanggup mengembannya. Apakah engkau sanggup mengembannya dengan apa yang ada di dalamnya?”

Adam bertanya, “Apa yang ada di dalamnya, wahai Rabb-ku?”
Allah menjawab, “Jika engkau mengembannya maka engkau diberi pahala dan jika engkau mengabaikannya maka engkau akan diazab.”
Adam lalu mengembannya dengan apa yang ada di dalamnya. Adam tidak tinggal di Surga kecuali seukuran antara shalat yang pertama sampai shalat Ashar hingga setan mengeluarkannya dari surga. (HR at-Tirmidzi).

Berdasarkan hadis ini, Ibn ’Abbas berpendapat, bahwa amanah dalam ayat ini maknanya adalah kewajiban-kewajiban dimana seorang hamba diberi diamanahi Allah untuk melaksanakannya.

Asy-Syaukani menukil pendapat al-Wahidi, bahwa amanah di sini menurut pendapat seluruh ahli tafsir adalah ketaatan dan kewajiban-kewajiban yang penunaiannya dikaitkan dengan pahala dan pengabaiannya dikaitkan dengan siksa. Ibn Mas‘ud berkata, bahwa amanah di sini adalah seluruh kewajiban dan yang paling berat adalah amanah harta. Sedangkan Ubay bin Ka‘ab berpendapat bahwa di antara amanah adalah dipercayakannya kepada seorang wanita atas kehormatannya.

Seluruh pendapat tersebut bermuara pada kesimpulan bahwa amanah dalam ayat tersebut adalah seluruh apa yang dipercayakan Allah kepada manusia mencakup seluruh perintah dan larangan-Nya, juga seluruh karunia yang diberikan kepada manusia. Sebagian ulama memerinci apa-apa saja yang termasuk amanah yang penting.



MEMAHAMI MAKNA TABLIGH




“Sampaikanlah olehmu apa yang datang dariku, walau hanya satu ayat”

Memahami Makna Tabligh

 
Dalam kegiatan rutin keagamaan, kita sudah sangat akrab dengan istilah tabligh. Kita juga sudah sangat akrab dengan istilah Tabligh Akbar, dan mengenal satu kelompok jama’ah yang menamakan diri sebagai jama’ah Tabligh. Lalu, apa sebenarnya yang dimaksud dengan tablîgh?

Secara bahasa, kata tabligh berasal dari kata ballagha-yaballighu-tablîghan yang berarti menyampaikan. Secara etimologis (asal-usul bahasa), sebenarnya kata tabligh merupakan bentuk transitif (muta’adi) dari kata intransitif (lazim) yaitu dari kata balagha-yablughu-bulûghan yang berarti sampai. Jadi, secara sederhana, tabligh berarti menyampaikan sesuatu (pesan) yang harus disampaikan kepada pihak-pihak tertentu (mukhâthab) sesuai dengan tuntutan situasi dan kondisi. Pembicaraan yang sesuai dengan tuntutan keadaan serta menggunakan kata-kata yang fasih disebut kalâm balîgh (KH.A.Wahab Muhsin&Drs.T. Fuad Wahab, Pokok-pokok Ilmu Balaghah hal. 21). Tuntutan keadaan atau situasi dan kondisi yang dimaksud misalnya:

1. Keadaan menyanjung, menuntut panjang lebar pembicaraan;
2. Keadaan mengejek, menuntut juga panjang lebar pembicaraan;
3. Berbicara di hadapan orang yang cerdas menuntut uraian singkat;
4. Kedunguan orang yang diajak bicara (mukhâthab), menuntut pembicaraan yang jelas dan diulang-ulang;
5. Keingkaran orang yang diajak bicara (mukhâthab), menuntut pembicaraan yang diperkuat (bertaukid).
6. Dan sebagainya.

Dalam Al-Quran, pembicaraan disebut qoul atau qoulan sedangkan dalam kehidupan sehari-hari disebut kalam. Perbedaan makna antara qoulan dengan kalam adalah: qoulan meliputi pembicaraan lisan dan tulisan, sedangkan kalam hanya meliputi pembicaraan lisan saja. Karena itu, sesuatu yang akan dibicarakan atau akan dipidatokan atau akan dipresentasikan secara tertulis disebut maqâlah yang populer dengan istilah makalah.

Bentuk-bentuk pembicaraan (qoulan) dalam Al-Quran, amat kaya dan relatif bervariasi tergantung pada tuntutan situasi dan kondisi apa dan bagaimana, serta kepada siapa pembicaraan itu ditujukan. Ketika kita berbicara dengan seseorang yang berada di bawah kita, dalam arti umurnya, pengalamannya, dan pengetahuannya, sementara dia amat memerlukan bimbingan kita, maka gunakanlah pembicaraan yang simpel, yakni mudah dipahami dan disampaikan secara arif dan bijaksana, yang dalam Al-Quran disebut qoulan ma’rûfan (lihat QS.4:5). Ketika berbicara dengan seseorang yang secara psikologis menjadi bagian dalam hidup kita, misalnya dengan keluarga kita, tetapi pembicaraan yang akan dismpaikan menyangkut hal-hal yang berhubungan dengan masalah hak dan kewajiban, maka gunakanlah pembicaraan yang efektif, yakni pembicaraan yang tepat kena sasaran (to the point), yang dalam Al-Quran disebut qoulan sadîdan (lihat QS.4:9). Ketika kita berbicara dengan lawan politik atau hendak menyampaikan pidato politik (kampanye) yang dimaksudkan untuk meyakinkan masa (publik) tentang misi, visi, dan perjuangan politik kita dan sekaligus untuk melemahkan lawan-lawan politik, maka gunakan pembicaraan yang berbekas, dalam arti yang meninggalkan kesan yang mendalam dan diplomatis, yang dalam Al-Quran disebut qoulan balîghaa (lihat QS.4:64). Ketika kita berbicara dengan penguasa yang otoriter dan diktator seperti Fir’aun, gunakanlah pembicararaan yang lemah lembut yang menyentuh hati dan perasaan serta membangkitkan kesadaran kemanusiannya, yang dalam Al-Quran disebut qoulan layyinan (lihat QS.20:44). Dan ketika kita berbicara di hadapan seseorang yang secara moral dan etika patut kita hormati; mungkin karena faktor usia yang lebih tua, atau boleh jadi karena pengalaman dan pengetahuannya, atau mungkin karena kedudukannya, maka gunakan pembicaraan yang penuh saya hormat dan tidak menggurui, yang dalam Al-Quran disebut qoulan karîman (lihat QS.17:23). Dan masih banyak bentuk-bentuk pembicaraan yang dicontohkan dan diajarkan Al-Quran yang amat memperhatikan dan sangat menyesuaiakan dengan tuntutan situasi dan kondisi yang dihadapi.

Contoh-contoh tersebut di atas, sekaligus memberi pelajaran bahwa ketika kita mempelajari Al-Quran, maka yang semestinya kita pelajari, bukan hanya isi (conten) atau pesan moralnya saja, tetapi harus kita pelajari juga tentang bagaimana cara menyampaikan (men-tabligh-kannya) kembali ajaran Al-Quran itu kepada orang lain secara baik dan benar. Bahkan agar kita dapat menyampaikan kembali hikmah dan pelajaran Al-Quran secara baik dan benar, serta mampu memberikan kesan yang mendalam (atsar) dan memberikan pencerahan dan solusi kehidupan umat manusia, selain harus dipelajari secara teoritis dan praktis, seorang muballigh patut juga melengkapi dirinya dengan latihan-latihan (riadhah) spiritual seperti mengintensifkan shalat malam (tahajjud), rajin membaca, memahami, dan menghayati ayat-ayat Al-Quran, dan lain-lain, niscaya Allah Yang Maha Agung akan menganugrahi kepada orang tersebut pembicaraan yang berbobot, yang dalam Al-Quran disebut qoulan tsaqîlan. Mengapa demikian? Sebab, pesan atau misi yang akan disampaikan bukan pesan manusia, melainkan pesan atau risalah Allah dan Rasul-Nya. Karena itu, diperlukan adanya penyesuaian akhlak dan kepribadian dari sang penyampai pesan-pesan tersebut. Mari kita simak, pesan Allah SWT berikut ini:

Hai orang yang berselimut (Muhammad), bangunlah (untuk shalat) di malam hari, kecuali sedikit dari padanya, yaitu setengahnya atau kurang dari setengahnya, atau lebih dari setengahnya, dan bacalah Al-Quran itu dengan perlahan-lahan. Sesungguhnya Kami akan menurunkan kepada-Mu perkataan yang berbobot” QS.73:1-5).

Adapun secara akademik, ilmu yang mempelajari tentang metoda dan gaya pembicaraan yang efektif serta sesuai dengan tuntutan keadaan disebut ilmu balahgah, atau dalam ilmu komunikasi disebut ilmu retorika

Mengenal Sosok Muballigh dan Muballighah

Dengan demikian, setelah kita mengikuti uraian tersebut di atas, kita mulai mengenal siapa sebenarnya sosok muballigh dan muballighah itu. Ternyata, mereka bukan golongan manusia biasa, melainkan golongan manusia yang amat istimewa dalam pandangan Allah dan Rasul-Nya. Mereka juga adalah golongan yang patut mendapat tempat yang mulia dan terhormat di hadapan manusia dan patut didukung segala kifrah dan perjuangannya. Karena, dipundak merekalah tanggung jawab kehidupan umat dan perbaikan masa depan kehidupannya. Muballigh/ muballighah merupakan profesi yang bukan saja diakui keberadaannya oleh manusia, tetapi difasilitasi oleh Allah SWT. Selama mereka komit pada perjuangannya, maka setiap derap langkahnya selalu diback up, dipandu, dan ditolong oleh Allah. Karena itu, di setiap zaman dan pada setiap tempat, manusia sangat membutuhkan kehadiran mereka; Mereka tak ubahnya pelita bagi kehidupan; Mereka benar-benar wakil Allah dan pelanjut estapeta perjuangan Rasulullah SAW. Untuk itu, mari bergabung bersama mereka! Mari belajar lebih bersungguh-sungguh lagi untuk menjadi seperti mereka.

Secara teoritis, seseorang yang layak disebut muballigh atau muballighah adalah Pembicara yang berbakat merangkai kalimat-kalimat atau susunan pembicaraan yang baik, benar (fasih), dan indah, serta sesuai dengan tuntutan keadaan (KH.A.Wahab Muhsin&Drs.T. Fuad Wahab, Pokok-pokok Ilmu Balaghah hal. 21). Karena itu, dalam ilmu balaghah, seorang muballigh atau muballighah disebut mutakallim balîgh. Dengan demikian, seseorang layak disebut muballigh atau muballighah apabila dalam dirinya terdapat ciri-ciri sebagai berikut:

1. Menguasai materi pembicaraan, yakni sesuatu yang akan disampaikan;
2. Menguasai keadaan, situasi dan kondisi yang dihadapi, yang dalam istilah komunikasi disebut menguasai masa;
3. Mampu menyampaikan pebicaraan secara komunikatif, efektif, dan menarik;
4. Mampu meninggalkan kesan pembicaraan yang mendalam, mencerahkan, dan memberikan solusi bagi setiap orang yang mendengarkannya;
5. Mampu meningkatkan kedewasaan (keteladanan) bagi orang yang menyampaikan pembicaraannya. Karena, secara filosofis, tabligh, muballigh, dan muballighah, merupakan sebuah proses menuju kedewasaan. Demikian, Wallaahu a’lam .

JUDUL NOVEL

KISAH PEREMPUAN BAU LAWEYAN # 1

Kisah Perempuan Bahu Laweyan Yang Menikahi 9 Laki-laki  #01 WAJAHNYA tampak segar. Dia baru mandi dibawah pancuran air gunung Penanggungan. ...

POSTING POPULER